Cerpen Tema Cinta dan Pengabdian


Watu Gede 1998

Sejak dahulu, di belahan bumi manapun, tema tentang cinta memang tak pernah menjadi sesuatu yang usang. Tengok saja kisah Romeo & Juliet yang melegenda, beratus-ratus tahun lalu lamanya kisah tersebut dibuat, meski diragukan perihal kelayakannya menjadi sebuah ‘legenda’, kisah mereka masih terus dibicarakan hingga kini.
Sebelum masa itu, hampir satu setengah abad lalu, kisah cinta yang fenomenal juga terukir. Kisah antara Muhammad-Rasulullah dan Siti Khadijah. Si lelaki sempurna dan istri setianya. Khadijah, wanita kaya raya yang menikah dengan seorang pemuda ‘biasa’. Tak terkira seberapa besar pengorbanannya dalam mendukung sang suami. Harta dan kemewahan yang menjadi makanan sehari-harinya ia serahkan untuk perjuangan sang suami dalam menegakkan tauhid di bumi-Nya. Kisah nyata yang terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan.
Meski tak akan ada lagi lelaki sesempurna Muhammad-Rasulullah, dan diragukan apakah masih ada wanita sehebat Khadijah, nyatanya, kisah cinta mereka masih bisa ditemui hingga kini. Kisah cinta yang mempertemukan dua hati yang saling memupuk rasa. Kalian tak perlu terlalu jauh mencari, karena di rumahku, kalian bisa menemukannya.
Tersebutlah kisah tentang sepasang manusia di daratan Jawa Tenggara, Rahman dan Fitri. Mereka bukanlah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta, genap 30 tahun mereka mengarungi bahtera rumah tangga dan 3 anak telah lahir dari rahim Fitri.
Baiklah, mari kita mulai dari kisah sebelum mereka menikah.
Rahman dan Fitri adalah teman sejak sekolah menengah pertama. Orang tua mereka termasuk dalam segelintir masyarakat jaman dulu yang menganggap pendidikan harus diutamakan meski perut keroncongan. Setiap pagi mereka berangkat sekolah bersama, bagaimana tidak? Mereka memang harus bersama menaiki mini bus yang tak layak jalan itu jika tak ingin berjalan kaki 10 km jauhnya. Berjalan kaki di jalanan Gunung Tenggara yang naik-turun? Tidak, terima kasih.
 “Abis SMP kamu mau lanjut enggak Fit?” tanya Rahman di suatu pagi saat bersama menunggu mini bus.
“Gak tau Man. Aku pingin udah aja, mending bantuin mamak bikin tiker, dijual ke pasar. Atau bantuin bapak nyawah,” Jeda sejenak,
“tapi bapak keukeh aku harus sekolah. Padahal perempuan gak perlu sekolah tinggi-tinggi kan?”
Hening, tak ada jawaban dari Rahman. Sulit memang, menolak pendapat Fitri sama saja meyuruh kedua orang tuanya bekerja lebih keras dan dililit lebih banyak hutang. Tapi mengiyakannyapun bukan hal yang tepat rasanya. Hidup di tengah masyarakat pedesaan Jawa Tenggara bukan hal yang mudah, pendidikan masih dipandang sebelah mata. Sekedar gengsi anak tetangga yang bisa baca tulis. Toh akhirnya mereka akan nggarap sawah. Fisika, kimia, dan ilmu eksak lainnya terbuang begitu saja.
“Kalo kamu Man?” tanya Fitri setelah merasa tak ditanggapi.
“Insyaa Allah kalo simbok ngebolehin, aku mau lanjut sampai jadi sarjana.” Ucapnya yakin.
Setitik perasaan iri muncul dari dasar hati Fitri, namun perasaan terkejut dan tak percaya lebih mendominasi. Ia meragukan teman sekampungnya itu bisa meraih keinginannya. Ia tahu persis keadaan keluarga Rahman yang tak jauh dari keadaan keluarganya sendiri, terlebih dengan ayah lelaki itu yang belum lama wafat Tapi, ia tak ingin mengecilkan hati lelaki di sebelahnya itu,
“Aamiin. Semoga tercapai.” Ia berkata tulus.
Hari demi hari berlalu, masa putih abu-abu telah terlewati. Sesuai dugaan, atas paksaan bapaknya Fitri meneruskan sekolah, sayangnya ia tak bisa lagi bersama Rahman menunggu mini bus menjemput. Lelaki berkulit sawo matang itu bersekolah di SMA yang lebih baik darinya. Harus ia akui, Rahman memang memiliki otak lebih encer dari miliknya. Meski diam-diam merindukan percakapan kecil mereka, Fitri berharap Rahman mendapatkan yang terbaik dan bisa meraih apa yang dicita-citakannya.
Kenyataannya, berbeda sekolah tak membuat keduanya benar-benar merenggang. Hampir setiap akhir pekan Rahman berjalan kaki di jalanan gelap Gunung Tenggara, ia menuju rumah Fitri dan menunggunya untuk lekas berangkat ke balai desa. Mereka hendak menonton satu-satunya televisi yang ada disana. Tak banyak yang bisa dinikmati dari layar tabung 21 inchi yang hanya punya satu channel itu. Tapi, kebersamaan dengan warga desa dan berkumpulnya pemuda-pemudilah yang membuat kotak kecil itu tak pernah kesepian penonton.
Malam itu mereka menonton berita yang menampilkan kerusuhan di gedung MPR. Ingin mengakhiri orde baru katanya. Tidak tahu saja mereka, belasan tahun mendatang, masa kepemimpinan orde baru tetap ada yang merindukan, bahkan setelah sang pemimpin dipanggil Ilahi. Pukul sembilan tepat, Rahman mengantar Fitri pulang. Mereka tak hanya berdua tentu saja, sudah kubilang bukan, menonton televisi adalah agenda pekanan pemuda-pemudi desa. Bersama belasan teman sebaya, mereka menyusuri jalanan aspal separuh jadi ditemani kerlip bintang dan lampu senter.
“Sudah sampai.” ucap Rahman.
“Iya,”
Setelah berkata demikian, Fitri tak bergeser sesentipun. Ia menatap ke bawah dengan gusar. Tampak sekali ada yang ingin disampaikannya.
“Itu.. anu..” ia meneguk ludah, sepertinya ia kesulitan untuk sekedar berkata-kata.
“..minggu depan aku ikut lek Sastro ke Jakarta. Nyari kerja.”, lanjutnya.
Kalimat Fitri itu tak ayal menyentakkan Rahman dari kegiatan menunggu-Fitri-bicara. Ah, benar juga, pagi tadi mereka menerima hasil belajar setelah 3 tahun menjalani masa SMA. Kata LULUS yang tercetak tebal di ijazah membuat mereka lupa akan perpisahan yang akan terjadi di depan mata. Sudah turun-temurun memang, pemuda yang telah menyelesaikan sekolahnya akan bekerja atau belajar ke jenjang yang lebih tinggi bagi ‘kalangan atas’. Hanya 2 pilihan bagi ‘kalangan bawah’, nyangkul di sawah, atau merantau ke kota besar. Ia tahu itu. Tapi, haruskah secepat ini?
“Ati-ati ya. Semoga dapet pekerjaan yang bagus.” Rahman seketika merutuki kalimat yang baru saja meluncur setelah jeda yang tercipta. Ia ingin mengumpat, tapi ia sadar itu tak akan mengubah apapun. Ia tetap akan menjadi seorang pengecut yang mengungkapkan perasaannya sendiripun tak mampu.
Segera setelah keperrgian Fitri, Rahman mengutarakan niatannya untuk berkuliah kepada sang simbok. Ia tak ingin tertinggal dari Fitri, biarlah gadisnya sukses di ibu kota, Rahman yang akan mengejutkan kepulangan Fitri nanti karena melihat kesuksesan yang ia raih di desa kecil ini.
Apa kalian tahu apa jawaban sang simbok atas niatannya itu? Tentu saja niatannya disambut dengan baik, namun tak didukung sebaik itu pula. Simboknya hanya seorang janda yang mengolah sawah peninggalan sang ayah, hasilnya tak seberapa, bisa meluluskan Rahman SMA saja suatu prestasi besar. Kakangnya yang lulusan SD dan sudah menjadi kepala keluarga menolak mentah-mentah keinginannya itu, terlebih saat mengetahui sekolah mana yang ingin adiknya masuki. Sekolah Tinggi Pertanian.
“Halah Man, kalo cuma mau nyangkul di sawah, kamu gak perlu sekolah tinggi-tinggi. Buang-buang duit.”, katanya.
Rahman kecewa. Mengapa tak ada yang mendukungnya? Soal uangkah? Bukankah kakangnya itu telah bekerja dan memiliki ladang yang lumayan? Ah, tapi ia memang tak ingin bergantung pada kakak laki-lakinya itu. Sudah diputuskan, ia sendiri yang akan mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya.
Hari selanjutnya dan seterusnya, pagi-pagi sekali ia mengurus ladang simbok hingga dzuhur. Masa panen akan segera tiba, ia harus sigap menjaga padi-padi yang mulai menguning dari burung-burung nakal yang hinggap kesana-kemari. Setelah menunaikan kewajibannya beribadah, ia menuju Watu Gede, ia berjalan kaki menempuh 5 km jalan setapak untuk mencapai area sawah milik lek Paiman, saudara jauhnya yang menyerahkan sawah tersebut agar ia kelola dan hasilnya akan dibagi berdua nanti. Maklum, leknya yang telah merantau ke Jakarta itu terlalu sibuk untuk nyangkul dan berbecek-becekan seperti ini.
Hap! Rahman dengan sigap melompat dari satu batu ke batu lainnya, saat ini ia berada di lereng Watu Gede, bukit berbatu yang di bawahnya terdapat hektaran sawah membentang. Ia duduk sejenak, mengistirahkan otot-nya yang hampir mati rasa. Angin semilir membelai, sepanjang mata memandang hanya ada padi. Kemana tumbuhan lain? Tak bosankah mereka bertahun-tahun melihat padi? Gumamnya dalam hati.
Mengapa mereka tak pernah mencoba untuk menanam tanaman lain? Singkong misalnya. Rahman mulai berargumen sendiri. Benar juga, penanaman singkong tentu jauh lebih mudah daripada padi. Potong, tancapakan, dan tara! Hanya soal waktu agar singkong siap dipanen. Sedangkan padi, mereka harus melakukan ini dan itu. Rahman pernah menanyakan hal ini pada mendiang bapaknya, jawaban sang bapak sederhana, “soalnya, makanan sehari-hari orang Indonesia itu nasi, bukan singkong”. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud bapaknya. Rahman menghela nafas panjang, hal inilah yang menjadi alasannya ingin menempuh bangku kuliah di Sekolah Tinggi Pertanian. Ia ingin memajukan tanah kelahirannya ini.
Sedikit demi sedikit uang terkumpul dari hasil jerih payahnya, cukup lama masa itu datang. Masa saat ia bisa mengenakan toga dan  berfoto bersama sang simbok. Ia membutuhkan 6 tahun untuk mendapat gelar di belakang namanya. 2 tahun bekerja, 4 tahun kuliah. Agak lebih molor dari teman-temannya saat mengerjakan skripsi tak membuat ia menyerah. Ia membuktikan bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Skripsinya masuk 3 besar skripsi terbaik.
Dalam skripsinya, ia menggagas pemanfaatan singkong menjadi MOCAF (modified cassava flour), tepung berkualitas dan serbaguna, tak hanya dijadikan nasi tiwul-pengganti beras saat musim panen belum tiba- seperti di desanya. Tepung itu bisa dijadikan bahan dasar berbagai macam olahan makanan, seperti snack dan cake. Ia memodifikasi tepung kasar menjadi tepung layak produksi yang sangat diminati masyarakat karena harganya yang ekonomis.
Dengan semangat membara, ia kembali ke desanya. Disana, ia memulai produksi MOCAF. Ia tak lupa pada janjinya untuk membangun kampung halaman. Tak langsung besar usahanya, berawal dari bahan dan mesin sedanya, serta sedikit areal belakang rumah simbok yang ia jadikan lahan penanaman singkong, usaha yang ia gagas berasama kelompok tani di desanya itu mulai berkembang.
Lain waktu, saat ia berkunjung ke Watu Gede, tak hanya hamparan padi yang ia lihat. Kini, ada ratusan bahkan ribuan daun menjari berwarna hijau dengan tinggi seragam yang berjajar dengan apiknya. Desanya yang mula-mula sama seperti desa lainnya, “Desa para penanam padi”, kini, memiliki nama baru, “Desa penuai singkong”.
Tentu tak ada jalan yang benar-benar mulus. Kerap kali rintangan menghalangi,.mulai dari cemoohan warga yang terdengar ketika ia memulai usaha, perseturuan kecil dengan para tetua desa, simbok yang kesehatannya menurun, hingga beberapa tahun silam saat kementerian pertanian datang dan memberikan penghargaan sebagai “Tokoh Pembangkit Desa” kepadanya.
Setelah acara itu, seorang pengusaha yang cukup ternama menawarinya kontrak. Isinya tawaran uang yang begitu melimpah jika ia mau menjual ide dan konsep MOCAF kepada perusahaanya. Kalau saja, pengusaha tambun itu tak mensyaratkan MOCAF harus diproduksi di Yogyakarta, dengan teknik pertanian modern yang tak membutuhkan lahan. Rahman dengan senang hati akan mengiyakan. Tapi ia tak sebodoh itu, jika ia menyetujuinya, berarti desanya dan bahkan dirinya tak akan digunakan lagi setelah kontrak diserahkan. Lagipula ia teringat niatannya di atas Watu Gede dulu. Tujuannya berkuliah bukan hanya untuk menjadi jutawan, tapi untuk desanya, untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sanak sedulurnya.
Sungguh tak terasa 16 hari raya ia lalui setelah hari terakhirnya di masa putih abu-abu. 3 tahun terakhir ini telah ia lewati bersama seorang istri dan anak pertamanya, si Mela yang menggemaskan.
Ah, apakah aku megisahkan terlalu cepat? Mari kita mundur sedikit.
Tepat ketika usia Rahman 28 tahun, ia memberanikan diri ke rumah Fitri bersama pakdenya. Sempat kelimpungan karena mendengar Fitri yang hendak dijodohkan dengan duda beranak satu tak membuat Rahman mundur. Ia sudah terlalu lama menyiapkan diri untuk hari itu.
Sebelum hari itu, ia sempat heran dengan keputusan orang tua Fitri yang memaksa anaknya menikah dengan duda. Hei, apa yang salah dari gadis berusia 28 tahun yang belum menikah? Sebegitu putus asakah kedua orang tuanya hingga hendak menjodohkan si gadis? Ah, tidak, bukan orang tua si gadis yang mesti disalahkan, tapi si lelaki pengecut yang baru berani mengutarakan isi hatinya saat usia gadis ‘incarannya’ 28!
Dengan hati tak karuan, Rahman menunggu jawaban gadisnya itu. Dan saat jawaban “ya” yang terdengar, ribuan syukur ia lafalkan dalam hati. Omong-omong, bagaimana mungkin jawaban “tidak” akan diucapkan Fitri saat alasan mengapa ia tak ‘dekat’ dengan lelaki seperti temannya yang lain adalah karena Rahman yang tengah tersenyum lega di hadapannya itu?
Kisah cinta kedua orang tuaku itu memang tak seromantis dongeng Romeo dan Juliet, tapi aku jauh lebih menyukai kisah keduanya. Mereka mengajarkanku untuk percaya pada mimpi, menuntunku agar memiliki niat yang tulus, pantang menyerah, dan ya, tentu saja agar bisa menjaga rasa hingga waktu yang tepat.
Sudahkah kalian percaya kisah cinta seperti di masa lalu masih bisa kita temui di seluruh penjuru dunia hingga kini? Percayalah, karena hal itu benar adanya.

***

*author note:

semoga cerpen ini bisa bermanfaat, tapi jangan dimanfaatkan dengan plagiarisme ya!

kalau mau mengutip, pastikan menyertakan alamat blog atau nama author :)

oiya, tolong bantu koreksi apapun dalam cerpen ini yang bisa menjadikannya lebih baik.

-sheyber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PIDATO SINGKAT || Pornografi dan Remaja

MEMBUAT GANTUNGAN KUNCI DARI BAHAN ORGANIK

Contoh Motivation Letter untuk Open Recruitment Unit Kegiatan Mahasiswa